Generasi Z, yang tumbuh besar dengan internet dan media sosial, menunjukkan karakteristik unik yang berbeda dari generasi sebelumnya. Dalam konteks ini, relevansi pendidikan karakter menjadi semakin penting, bahkan mendesak, di tengah arus digitalisasi yang masif. Pendidikan karakter bukan lagi pelengkap, melainkan fondasi vital untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga memiliki integritas, etika, dan kemampuan beradaptasi di dunia yang terus berubah.
Data dari survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Maret 2024 mengungkapkan bahwa sekitar 15% remaja Gen Z di perkotaan mengalami tekanan psikologis akibat perbandingan sosial di media daring. Angka ini, ditambah dengan laporan mengenai peningkatan kasus cyberbullying dan perilaku instan, menyoroti bahwa relevansi pendidikan karakter perlu diperkuat untuk membekali mereka dengan ketahanan mental dan etika digital. Fenomena ini menggarisbawahi bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan karakter yang kuat.
Menyadari relevansi pendidikan karakter ini, pada hari Jumat, 20 Juni 2025, pukul 10.00 WIB, di Pusat Studi Kebijakan Pendidikan, Jakarta, diselenggarakan Forum Analisis Kebijakan Pendidikan: “Transformasi Karakter di Era Digital”. Acara ini dihadiri oleh para peneliti pendidikan, sosiolog, dan perwakilan pemerintah. Dalam forum tersebut, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan, Bapak Dr. Bima Santosa, mempresentasikan hasil analisis bahwa integrasi pendidikan karakter harus dilakukan secara lintas disiplin dan tidak hanya bersifat indoktrinasi, melainkan melalui pengalaman langsung dan refleksi.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus berupaya meningkatkan relevansi pendidikan karakter melalui berbagai program. Pertama, penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka, yang menekankan pada nilai-nilai seperti beriman dan bertakwa, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Kedua, pelatihan guru yang berfokus pada pengembangan metode pembelajaran yang partisipatif dan mampu memicu internalisasi nilai-nilai karakter. Pada 1 Juli 2025, program “Training of Trainers (ToT) Fasilitator Karakter” akan dimulai, menargetkan 5.000 guru bimbingan konseling dan wali kelas di seluruh Indonesia.
Ketiga, pemanfaatan teknologi secara bijak untuk mendukung pendidikan karakter. Platform edukasi daring, game edukatif, atau film pendek bertema moral dapat menjadi media yang menarik bagi Gen Z. Kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan komunitas juga krusial untuk menciptakan ekosistem yang mendukung. Dengan demikian, relevansi pendidikan karakter di tengah arus Generasi Z adalah sebuah keniscayaan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga berintegritas tinggi, berdaya saing, dan berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa.